Friday, June 7, 2013

Pentingnya Dukungan Psikososial bagi Penderita Kanker


Beberapa riset lainnya juga menyimpulkan bahwa (Barnes et al., 2002) pada orang tua/dewasa yang berhadapan dengan penyakit-penyakit yang mengancam kehidupan dan kondisi kesehatan kronis ternyata ditemukan pengalaman-pengalaman kecemasan (anxiety), depresi (depression), dan kesulitan-kesulitan emosional lainnya. Berdasarkan hasil riset ini, wanita-wanita yang terdiagnosis memiliki penyakit kanker menghadapi banyak keputusan-keputusan yang sulit. Distress psikologis semakin potensial dan aktual jika bersinggungan langsung dengan faktor lain seperti bagaimana cara memberikan penjelasan terhadap anggota keluarga terutama anak di bawah usia 21 tahun. Ada kecenderungan wanita-wanita tersebut terkesan menghindari anak-anak dan menyembunyikan kecemasan-kecemasan. Situasi seperti ini hanya akan mengarah pada pola komunikasi yang menjadi semakin tidak berarti.


Salah satu penjelasan kausal yang dapat dijadikan asumsi hipotetik sementara terhadap problem-problem psikologis yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi fisik kronis tadi adalah “di dunia orang sakit, emosi-lah yang menjadi raja; pikiran kita disibukkan oleh rasa takut” (Goleman, 1997). Secara emosional, seseorang dapat menjadi begitu hancur bila terkena sakit, karena kesejehteraan mental kebanyakan orang awam didasarkan pada ilusi tidak dapat sakit. Sakit, terutama sakit berat, menghancurkan ilusi tersebut, menyerang anggapan dunia pribadi yang aman dan sejahtera. Sekonyong-konyong seseorang lalu merasa lemah, tidak, berdaya, rentan, dan kehilangan kekuatan mental.

Pada sakit kanker dan penderitaan kronis lainnya memang tidak dapat dipahami secara pendekatan skema-kognitif semata, tetapi persoalannya menjadi semakin kompleks manakala sistem medis mengabaikan potensi dan reaksi emosional pasien. Tiadanya kepedulian pada realitas emosi si pasien berarti tidak menghiraukan bukti-bukti yang semakin menumpuk yang menunjukkan bahwa keadaan emosi dapat memainkan peran yang kadang-kadang amat berarti dalam mengatasi kekhawatiran terhadap penyakit dan dalam arah menuju kesembuhan. Perawatan medis modern terlampau sering kehilangan kecerdasan emosional.

Pada tahun 1974 (Goleman, 1997), sebuah temuan di Laboratorium School of Medicine and Dentistry, University of Rochester, menulis ulang peta biologis tubuh. Robert Ader, seorang ahli psikologi, menemukan bahwa sistem kekebalan tubuh, seperti halnya otak, mampu belajar. Hasilnya amat mengejutkan pandangan umum yang berlaku dalam dunia kedokteran (hanya otak dan sistem saraf pusat yang mampu menanggapi pengalaman dengan mengubah perilaku mereka). Temuan Ader menjurus pada penyelidikan tentang apa yang kemudian diketahui sebagai ribuan cara komunikasi antara sistem saraf pusat dan sistem kekebalan, yaitu jalur biologis yang membuat otak, emosi, dan tubuh tidak terpisah, melainkan terjalin dengan eratnya.

Hingga saat Ader mengumumkan temuannya yang mengejutkan itu, setiap ahli anatomi kedokteran, dokter, dan ahli biologi masih berkeyakinan dengan teori konservatif tentang otak dan sistem kekebalan tubuh adalah satuan yang terpisah, satu sama lainnya tidak saling mempengaruhi. Begitulah persangkaan orang-orang selama satu abad. Bertahun-tahun sejak publikasi temuan itu, akhirnya muncul pandangan baru tentang hubungan antara sistem kekebalan tubuh dan sistem saraf pusat. Bidang yang mempelajari tentang psikoneuroimunologi merupakan ilmu kedokteran yang sangat penting. Sebutan itu mengakui adanya hubungan tersebut: psiko atau pikiran; neuro atau sistem neuroendokrin (yang termasuk golongan sistem saraf dan sistem hormon); imunologi atau sistem kekebalan. Dengan demikian, potensi emosi dalam urusan penyakit memiliki besaran yang cukup ekstensif.
Artikel ini dipersembahkan oleh Obat Kanker Jamur Dewa

No comments:

Post a Comment