Beberapa riset
lainnya juga menyimpulkan bahwa (Barnes et al., 2002) pada orang tua/dewasa
yang berhadapan dengan penyakit-penyakit yang mengancam kehidupan dan kondisi
kesehatan kronis ternyata ditemukan pengalaman-pengalaman kecemasan (anxiety),
depresi (depression), dan kesulitan-kesulitan emosional lainnya.
Berdasarkan hasil riset ini, wanita-wanita yang terdiagnosis memiliki penyakit
kanker menghadapi banyak keputusan-keputusan yang sulit. Distress psikologis
semakin potensial dan aktual jika bersinggungan langsung dengan faktor lain
seperti bagaimana cara memberikan penjelasan terhadap anggota keluarga terutama
anak di bawah usia 21 tahun. Ada kecenderungan wanita-wanita tersebut terkesan
menghindari anak-anak dan menyembunyikan kecemasan-kecemasan. Situasi seperti
ini hanya akan mengarah pada pola komunikasi yang menjadi semakin tidak
berarti.
Salah satu
penjelasan kausal yang dapat dijadikan asumsi hipotetik sementara terhadap
problem-problem psikologis yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi fisik kronis
tadi adalah “di dunia orang sakit, emosi-lah yang menjadi raja; pikiran kita
disibukkan oleh rasa takut” (Goleman, 1997). Secara emosional, seseorang dapat
menjadi begitu hancur bila terkena sakit, karena kesejehteraan mental
kebanyakan orang awam didasarkan pada ilusi tidak dapat sakit. Sakit, terutama
sakit berat, menghancurkan ilusi tersebut, menyerang anggapan dunia pribadi
yang aman dan sejahtera. Sekonyong-konyong seseorang lalu merasa lemah, tidak,
berdaya, rentan, dan kehilangan kekuatan mental.
Pada sakit kanker
dan penderitaan kronis lainnya memang tidak dapat dipahami secara pendekatan
skema-kognitif semata, tetapi persoalannya menjadi semakin kompleks manakala
sistem medis mengabaikan potensi dan reaksi emosional pasien. Tiadanya
kepedulian pada realitas emosi si pasien berarti tidak menghiraukan bukti-bukti
yang semakin menumpuk yang menunjukkan bahwa keadaan emosi dapat memainkan
peran yang kadang-kadang amat berarti dalam mengatasi kekhawatiran terhadap
penyakit dan dalam arah menuju kesembuhan. Perawatan medis modern terlampau sering
kehilangan kecerdasan emosional.
Pada tahun 1974
(Goleman, 1997), sebuah temuan di Laboratorium School of Medicine and
Dentistry, University of Rochester, menulis ulang peta biologis tubuh.
Robert Ader, seorang ahli psikologi, menemukan bahwa sistem kekebalan tubuh,
seperti halnya otak, mampu belajar. Hasilnya amat mengejutkan pandangan umum
yang berlaku dalam dunia kedokteran (hanya otak dan sistem saraf pusat yang
mampu menanggapi pengalaman dengan mengubah perilaku mereka). Temuan Ader
menjurus pada penyelidikan tentang apa yang kemudian diketahui sebagai ribuan
cara komunikasi antara sistem saraf pusat dan sistem kekebalan, yaitu jalur
biologis yang membuat otak, emosi, dan tubuh tidak terpisah, melainkan terjalin
dengan eratnya.
Hingga saat Ader
mengumumkan temuannya yang mengejutkan itu, setiap ahli anatomi kedokteran,
dokter, dan ahli biologi masih berkeyakinan dengan teori konservatif tentang
otak dan sistem kekebalan tubuh adalah satuan yang terpisah, satu sama lainnya
tidak saling mempengaruhi. Begitulah persangkaan orang-orang selama satu abad.
Bertahun-tahun sejak publikasi temuan itu, akhirnya muncul pandangan baru
tentang hubungan antara sistem kekebalan tubuh dan sistem saraf pusat. Bidang
yang mempelajari tentang psikoneuroimunologi merupakan ilmu kedokteran yang
sangat penting. Sebutan itu mengakui adanya hubungan tersebut: psiko atau
pikiran; neuro atau sistem neuroendokrin (yang termasuk golongan sistem saraf
dan sistem hormon); imunologi atau sistem kekebalan. Dengan demikian, potensi emosi
dalam urusan penyakit memiliki besaran yang cukup ekstensif.
Artikel ini dipersembahkan oleh Obat Kanker Jamur Dewa
No comments:
Post a Comment